Viral

Peristiwa 22 Mei 2019 Dan Ujian Demokrasi Indonesia

Gempak ID
01/06/2019
06:21 MYT
Sponsor Banner
Peristiwa 22 Mei 2019 Dan Ujian Demokrasi Indonesia
Pemilu Indonesia pada tahun 2019 yang dimenangkan oleh pasangan kandidat Joko Widodo - Ma’ruf Amin menyisakan ketidakpuasan pada pihak Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilakukan pada tanggal 21 Mei 2019, direspon dengan unjuk rasa di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kawasan Jl. M Thamrin, Jakarta.
Unjuk rasa itu berlangsung sejak tanggal 21 Mei malam hingga 23 Mei 2019. Unjuk rasa yang semula diklaim akan berlangsung damai itu disusupi oleh perusuh sehingga mengakibatkan 8 orang meninggal dan ratusan lainnya luka berat dan ringan.
Di sisi lain, pemerintah selama dalam kurun waktu unjuk rasa tersebut membatasi sebagian fitur dalam penggunaan media sosial seperti Facebook dan Instagram, serta aplikasi pesan instan seperti WhatsApp.
Pembatasan media sosial dan pesan instan ini dilakukan untuk menghentikan laju penyebaran hoaks dan mencegah meluasnya provokasi kepada masyarakat yang dapat berdampak pada eskalasi kerusuhan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi, apa sebetulnya yang bisa dilihat dari peristiwa ini?
Elite Berkepentingan, Massa Dikorbankan
Peristiwa unjuk rasa yang berlangsung kemarin sesungguhnya adalah wujud pengorbanan masyarakat oleh elite yang kurang dewasa dalam berpolitik. Pihak Prabowo - Sandi sejak awal telah mendelegitimasi proses pemilu dengan tuduhan kecurangan tidak hanya kepada kandidat Jokowi-Ma’ruf tetapi juga kepada penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
Akan tetapi, kecurangan yang dituduhkan itu tidak disertai dengan bukti yang memadai, sehingga proses rekapitulasi suara tetap dilangsungkan hingga pemenang pemilu diumumkan.
Upaya delegitimasi proses pemilu ini kemudian berujung pada penolakan hasil pemilu yang dikatakan secara gamblang oleh Prabowo dalam satu acara yang bertajuk “Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019” yang diadakan Badan Pemenangan Nasional (BPN), tim sukses Prabowo-Sandi di Hotel Grand Sahid Jaya tanggal 14 Mei 2019.
Dalam acara tersebut Prabowo secara tidak langsung mengajak para pendukungnya untuk berunjuk rasa kepada penyelenggara pemilu apabila hasilnya tidak sesuai dengan hasil penghitungan internal BPN yang mengatakan bahwa Prabowo-Sandi adalah pemenang pilpres 2019.
Beranjak dari runtutan kejadian di atas, unjuk rasa yang berlangsung hingga memakan korban nyawa dan luka-luka itu memperlihatkan ketidakmampuan elite untuk bisa menjalankan sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa ini sejak reformasi bergulir. Indonesia yang sudah melaksanakan pemilihan presiden secara langsung sejak 2004, telah mempersiapkan pula mekanisme sengketa pemilu apabila ada proses pemilu yang tidak dapat diterima oleh salah satu pihak.
Dalam konteks pemilihan presiden, sengketa pemilu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang berwenang memutus sengketa pemilu, sudah dijalankan sejak 2004. Pada waktu itu pasangan Wiranto - Sholahuddin Wahid yang membawa sengketa ke MK. Di tahun 2009, pasangan Jusuf Kalla- Wiranto dan Megawati-Prabowo yang membawa sengketa pemilu ke MK.
Di tahun 2014, pasangan Prabowo-Hatta Radjasa juga membawa gugatan mereka ke MK. Semua berlangsung secara aman dan damai. Bahkan dalam konteks pemilihan kepala daerah, sengketa pemilu di MK telah berujung pemilihan ulang di beberapa daerah, jika terbukti terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Artinya, mekanisme sengketa damai di MK sesungguhnya telah terbukti dapat menyelesaikan permasalahan pemilu yang ada.
Pemilu secara konseptual sesungguhnya adalah mekanisme sirkulasi elite tanpa pertumpahan darah. Tetapi pemilu 2019 telah memakan korban, hanya karena ketidakmampuan elite menerima kekalahan dan jikapun telah terjadi kecurangan, elite tidak bisa membuktikannya. Peristiwa 22 Mei kemarin telah memperburuk kualitas demokrasi Indonesia.
Pembatasan Media Sosial, Pembatasan Kebebasan Memperoleh Informasi
DI sisi lain, kerusuhan 22 Mei berdampak pada tindakan pemerintah yang membatasi sejumlah media sosial dan fitur dalam aplikasi percakapan instan. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) hal ini dilakukan untuk menghambat peredaran hoaks dan provokasi yang lebih meluas kepada masyarakat. Akan tetapi, pembatasan ini tidak hanya menghambat peredaran informasi yang palsu, tetapi juga menghambat masyarakat untuk mendapat informasi yang benar, seperti dikatakan oleh Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam rilis persnya, sebagaimana berita yang dimuat di kompas.com (23/05).
Padahal, kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat fundamental dan universal. Dalam konstitusi Indonesia pun hak tersebut telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F.
Pembatasan ini dapat diatasi oleh sebagian masyarakat yang memakai Virtual Private Network (VPN) dalam berkomunikasi meskipun ada resiko kebocoran data pribadi pengguna. Sehingga sebenarnya pembatasan yang dilakukan pemerintah belum bisa dikatakan optimal untuk menangkal hoaks.
Di sisi lain, meskipun sebagian besar masyarakat memilih untuk memakai VPN, pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah tetap menjadi masalah. Pembatasan ini telah mengganggu tidak hanya semata hak berkomunikasi, tetapi telah mengganggu roda perekonomian sebagian masyarakat yang mengandalkan media sosial dan aplikasi Whatsapp untuk berbisnis.
Sebagaimana riset yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada tahun 2019, sebagaimana dikutip dari republika.co.id, bahwa ada 66 persen transaksi jual beli online terjadi di platform Instagram, Facebook dan Whatsapp, sehingga dalam pembatasan yang dilakukan pemerintah selama kurun waktu 3 hari, ada potensi kerugian omset hingga miliaran rupiah yang dialami oleh pemilik bisnis toko online yang saat ini semakin pesat pertumbuhannya di Indonesia (INDEF, 2018).
Dalam konteks demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, adalah suatu hal yang dapat mencederai demokrasi. Langkah pemerintah untuk menangkal hoaks sebenarnya dapat dimaklumi.
Tetapi pembatasan ini bukanlah jalan keluar jangka panjang, karena ini sama saja melawan komponen anti-demokrasi (di antaranya hoaks dan dalam konteks pemilu 2019 termasuk provokasi untuk tidak menerima hasil pemilu tanpa bukti kecurangan yang jelas) dengan cara-cara yang tidak demokratis (pembatasan kebebasan hak mendapatkan informasi).
Ke depan, pemerintah harus memikirkan cara lain untuk menangkal hoaks, tanpa harus melanggar hak masyarakat untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi.
Ujian Demokrasi
Dua kejadian yang saling berkaitan dalam Peristiwa 22 Mei, yaitu kerusuhan pemilu dan pembatasan hak komunikasi warga yang terjadi baru saja sesungguhnya merupakan sebuah ujian demokrasi bagi bangsa Indonesia.
Indonesia yang sebelumnya digadang-gadang sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, dapat mengalami dekonsolidasi demokrasi bila elite terus mengorbankan rakyat demi kepentingannya, dan bila pemerintah terus melakukan cara-cara yang tidak demokratis untuk melawan kekuatan anti-demokrasi.
Kredit Foto: CNNIndonesia, BBC.com, Gatra
Oleh: Dini Suryani
Related Topics
Must-Watch Video
Gempak Most Wanted Awards 2024